Pada bagian MENGAPA PERLU KNOWLEDGE MANAGEMENT (1) dikatakan bahwa pengetahuan berlimpah, tetapi insan adalah makhluk pelupa, maka untuk mengelola pengetahuan personal agar tetap terpelihara dan terbarukan, dibutuhkan sistem dan teknologi, yang disebut Personal KM.
Setelah dijelaskan pentingnya mengelola pengetahuan di tingkat personal, maka selanjutnya peran Knowledge Management (KM) di tingkat organisasi.
KM Sebagai Mesin Organisasi
A. Peran Tenaga Kerja dalam Organisasi
Organisasi modern menganggap dan memperlakukan tenaga kerja sebagai modal organisasi (modal insani), sedangkan organisasi tradisional menganggap dan memperlakukan karyawan hanya sebagai sumber daya atau bahkan hanya sebagi ”alat produksi”. Evolusi cara pandang (paradigma) tentang tenaga kerja dalam organisasi di atas menyebabkan evolusi istilah tentang pengelolaan insan dalam organisasi; dari Administrasi Personalia berubah menjadi Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management), hingga sejak tahun 1990-an berubah menjadi Manajemen Modal Insani (Human Capital Management) yang memperlakukan insan sebagai modal tidak berwujud organisasi.
Perubahan cara pandang itu sangat mendasar dengan sebuah keyakinan bahwa kesalahan pengelolaan tenaga kerja organisasi bisa mengubah peran tenaga kerja dari modal (capital) menjadi beban (liability) organisasi.
Secara umum, berikut perbedaan hakiki peran tenaga kerja dalam sebuah organisasi atau bahkan peran masyarakat dalam sebuah negara:
- Tenaga Kerja sebagai Modal Insani
Tenaga kerja menjadi Modal Insani organisasi ketika tenaga kerja sudah mencapai taraf dewasa, dengan sikap dan perilaku yang positif, serta memiliki kompetensi kerja yang baik sehingga mampu menjadi ”mesin” organisasi atau modal untuk membangun kapabilitas organisasi. Remunerasi yang diberikan oleh organisasi akan dapat dikembalikan (memberikan capital return) kepada organisasi jauh melebihi nilai remunerasi yang diberikan organisasi. Ketika organisasi mendapat capital return yang lebih besar dari remunerasi yang dibayarkannya, maka dapat dikatakan bahwa tenaga kerja tersebut telah mampu berperan sebagai Modal Insani sehingga keberadaannya mampu menjadi ”mesin” untuk menciptakan nilai tambah (return lebih besar dari remunerasi) untuk menumbuhkembangkan organisasi.
2. Tenaga Kerja sebagai Beban Insani (Human Liability)
Ketika tenaga kerja belum mencapai tingkat dewasa dicirikan oleh sikapnya yang mementingkan diri sendiri dan berperilaku negatif serta kompetensi kerjanya rendah, maka keberadaannya menurunkan kapabilitas organisasi. Pada kondisi ini, tenaga kerja akan menjadi beban (human liability) buat organisasi, yang keberadaannya menimbulkan dampak negatif terhadap penciptaan nilai tambah organisasi; dengan ciri utamanya yaitu remunerasi yang diberikan organisasi kepada tenaga kerja yang bersangkutan, ternyata lebih besar dari nilai return yang diberikan oleh tenaga kerja tersebut. Berdasarkan pengalaman selama ini, tidak ada organisasi yang akan mampu bertahan (survive) ketika tenaga kerjanya justru berperan sebagai beban organisasi.
Melihat fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tenaga kerja dalam organisasi bisa menjadi Modal Insani (Human Capital) organisasi atau justru menjadi Beban Insani organisasi (Human Liabilities), yang menjadi penyebab bangkrutnya organisasi.
Pertanyaannya: Apakah tenaga kerja yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman akan secara otomatis mampu berperan sebagai modal insani organisasi?
Ternyata efektif atau tidak efektifnya peran tenaga kerja dalam organisasi, tidak hanya ditentukan oleh kompetensinya, tetapi sering juga dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasi lainnya. Gabungan antara penyebab internal tenaga kerja (kompetensi) dan faktor-faktor organisasi telah menimbulkan fenomena baru, sebagai berikut:
- ”Kebanyakan tenaga kerja hanya menggunakan 2,5% dari kapasitas otaknya”. Tuhan telah memberikan bekal kepada insan berupa otak yang memiliki kapasitas sangat besar agar insan mampu berperan untuk menciptakan rahmatan lil alamin (menjadi sumber rahmat bagi sekalian alam) dalam hidupnya. Namun faktanya, kebanyakan insan yang berperan sebagai tenaga kerja, justru malas untuk belajar mencari pengetahuan sebagai bekal hidup ataupun bekal setelah matinya sehingga kebanyakan tenaga kerja hanya menggunakan maksimum 2,5% dari kapasitas otaknya.
- Dari 2,5% kapasitas otak yang berisi pengetahuan dan pengalamannya, kebanyakan hanya 20% dari kapasitas pengetahuannya itu (0,5% kapasitas pengetahuannya) berhasil dieksplisitkan (baca: diamalkan). Apa yang kita tahu (pengetahuan tasit) jauh lebih besar daripada yang bisa kita aplikasikan (pengetahuan eksplisit). Untuk mampu mengaplikasikan apa yang kita tahu, memang masih perlu kemampuan untuk mentransformasikan pengetahuan tasit menjadi pengetahuan eksplisit sehingga yang betul-betul bisa menciptakan nilai tambah dari apa yang diaplikasikan, umumnya hanya sekitar 0,5% dari kapasitas pengetahuan tasitnya. Artinya, sebanyak 2,0% dari pengetahuan yang dimilikinya masih dalam bentuk pengetahuan tasit.
- Yang kita tahu lebih banyak dari yang bisa kita ucapkan. Yang bisa kita ucapkan lebih banyak dari yang bisa kita tulis dan yang bisa kita tulis akan lebih banyak dari yang bisa kita aplikasikan (eksplisitkan). Fenomena ini menguatkan hambatan insan untuk transformasi dari pengetahuan tasit (yang kita tahu), menjadi pengetahuan eksplisit (yang bisa kita amalkan), sampai menciptakan nilai tambah atau manfaat. Oleh sebab itu, kita perlu menguasai proses transformasi yang baik atau harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan insan (humanis).
- Pengetahuan yang ada dalam otak insan bisa hilang/mubazir karena dibawa pindah kerja/pensiun/mati. Ketika ada insan yang pindah kerja/pensiun/mati, maka secara otomatis ia akan membawa pengetahuan/pengalamannya, dan itu artinya pengetahuan/pengalaman tersebut bisa hilang dari organisasi kita. Untuk mengembalikan pengetahuan/pengalaman yang hilang, akan diperlukan waktu, biaya, serta risiko kegagalan, terutama jika perusahaan memilih strategi merekrut secara horizontal (membajak tenaga kerja yang memiliki pengetahuan/pengalaman setara dari perusahaan lain) atau mengembangkan tenaga kerja baru sampai memiliki pengetahuan kira-kira setara dibandingkan dengan pengetahuan/pengalaman yang hilang dibawa tenaga kerja yang keluar.
B. Mengapa Organisasi Perlu KM?
Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menjelaskan bahwa perilaku kehidupan di era pengetahuan telah dan akan terus berubah dengan cepat. Tidak hanya itu, sifatnya akan lebih kompleks dan sekaligus penuh ketidakpastian. Cepatnya tuntutan perubahan tatanan kehidupan organisasi, utamanya disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan saat ini berkembang dengan sangat pesat. Pengetahuan atau teknologi pada akhirnya akan makin cepat usang sehingga jika kurikulum sebuah perguruan tinggi tidak mengikuti dinamika perkembangan pengetahuan dan para mahasiswanya lulus rata-rata empat tahun, maka besar kemungkinan ketika dia lulus pengetahuannya sudah usang.
Organisasi modern berlomba untuk melakukan inovasi berbasis pengetahuan (knowledge driven innovation) yang bersumber dari pengetahuan para tenaga kerjanya. Dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, paradigma manajemen telah mengalami perubahan yang terjadi secara berkelanjutan, dipicu oleh pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan insan. Manual-worker yang dominan pada abad ke-20 sudah tidak relevan lagi dan organisasi saat kini sangat ditentukan oleh kualitas serta kuantitas dari knowledge-workers. Begitu pula penguasa organisasi, semula didominasi oleh pemilik dana telah berubah, sekarang orang dikuasai oleh pemilik pengetahuan, khususnya karyawan yang memiliki kompetensi yang selalu terbarukan, yang diperlukan untuk meningkatkan inovasi atau kinerja organisasi.
Pengetahuan harus diperlakukan sebagai modal yang paling berharga untuk organisasi di abad ke-21, khususnya Modal Insani yang mampu berperan sebagai ”mesin” pencipta nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing bisnis – mampu menciptakan return terbesar bagi organisasi – (Drucker, 1999). Alat bantu manajer dalam menjalankan bisnisnya telah berevolusi, tetapi benang merah yang digunakan tetap yaitu pengetahuan, pengalaman, dan modal intelektual. Benang merah untuk mengelola dan mengendalikan organisasi untuk mencapai kinerja bisnis terbaik saat ini disebut Knowledge Management (KM); Tiwana, 1999. Knowledge Management menjadi alat manajemen untuk menciptakan produktivitas, kualitas, profitibilitas, dan inovasi organisasi dengan mengombinasikan KM dengan Strategi Bisnis untuk mencapai sasaran bisnis sekaligus kinerja organisasi dan operational performance (Swain & Ekionea, 2008).
Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menunjukkan hasil studi yang dilakukan oleh Ellen de Rooij dari Statix Group, bahwa rata-rata ekspektasi hidup organisasi di Eropa (tanpa memandang ukuran organisasinya) ternyata hanya 12,5 tahun. Pada beberapa negara, bahkan hanya 40% dari semua organisasi yang baru didirikan dapat mencapai umur kurang dari 10 tahun (artinya, sekitar 60% organisasi yang baru didirikan ’hilang’ sebelum mencapai umur 10 tahun).
Namun, ada juga organisasi yang berumur hingga ratusan tahun. Studi Peter Senge menunjukkan bahwa organisasi-organisasi kelas dunia yang tercatat dalam Fortune 500, mempunyai rata-rata hidup 40-50 tahun. Menurut De Geus (1997), organisasi dapat berumur panjang karena mempunyai karakteristik sebagai organisasi yang ’hidup’ (the living company). Organisasi yang hidup mempunyai ’pikiran’ dan ’karakter’ yang unik sehingga mempunyai kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman (seperti makhluk hidup). Pada organisasi ini, pengetahuan menjadi sumber daya yang bersifat tangible sekaligus intangible, dan bisa ditangkap, disimpan, disebarkan serta di-share (berbagi pengetahuan) untuk menghasilkan inovasi organisasi.
Situs epistree.com (http://www.epistree.com/KnowledgeInfrastructure. aspx) menyebutkan bahwa rata-rata organisasi kehilangan produktivitasnya dari 8% sampai 17% per tahun. Karena hilangnya dan pengetahuan data yang semula dimiliki organisasi, maka mencari adalah sebuah usaha yang sudah menghasilkan nilai tambah pemborosan. Sementara itu, para pekerja di Amerika Serikat memakai 10% sampai 33% waktunya untuk mencari informasi. Oleh sebab itu, untuk meminimkan terbuangnya waktu (pemborosan waktu kerja) untuk mencari pengetahuan dalam mendukung pekerjaannya, diperlukan dukungan sistem kerja yang pasti sebagai kerangka kerja KM untuk menangkap, menyebarkan, menyimpan, mengambil, dan menggunakan pengetahuan dalam organisasi. Artinya, organisasi kini sulit bertahan tanpa menggunakan KM, sebagai suatu model manajemen yang dirancang dan disusun berdasarkan visi, misi, dan rencana implementasi KM organisasi.
Penulis: Jann Hidajat Tjakraatmadja, Didin Kristinawati
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Tjakraatmadja, Jann. H. & Kristinawati, D. (2017). Strategi Implementasi Knowledge Management. Bandung: Penerbit ITB