Tantangan dalam menyusun desain struktur organisasi
1. Penyeimbangan antara Diferensiasi dan Integrasi.
Diferensiasi horizontal seharusnya memungkinkan orang untuk lebih terspesialisasi dan dengan demikian menjadi lebih produktif. Namun, perusahaan sering menemukan bahwa spesialisasi membatasi komunikasi antar subunit dan menghambat mereka untuk saling belajar. Sebagai hasil dari diferensiasi horizontal, anggota dari fungsi atau divisi yang berbeda mengembangkan orientasi yang hanya mengacu pada tujuan tiap subunit atau kecenderungan untuk melihat peran seseorang dalam organisasi secara kaku hanya dari perspektif kerangka waktu, tujuan, dan orientasi interpersonal dari suatu subunit. Misalnya, departemen produksi sangat memperhatikan pengurangan biaya dan peningkatan kualitas; sehingga cenderung memiliki pandangan jangka pendek karena biaya dan kualitas merupakan tujuan produksi yang harus dipenuhi setiap hari. Sebaliknya, dalam R&D, inovasi pada proses produksi mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuahkan hasil; dengan demikian, karyawan R&D biasanya memiliki pandangan jangka panjang. Ketika fungsi yang berbeda melihat sesuatu secara berbeda, komunikasi akan gagal dan koordinasi menjadi sulit. Untuk menghindari masalah komunikasi yang dapat timbul dari diferensiasi horizontal, organisasi mencoba menemukan cara baru atau cara yang lebih baik untuk mengintegrasikan fungsi. Biasanya dengan cara mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan komunikasi di antara subunit yang terpisah.
Bagaimana cara memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar subunit merupakan tantangan utama bagi para manajer. Salah satu alasan masalah pada bagian ini adalah perkembangan orientasi tiap subunit yang membuat komunikasi menjadi sulit dan kompleks. Alasan lain dari kurangnya koordinasi dan komunikasi adalah bahwa manajer sering gagal dalam menggunakan mekanisme dan teknik yang tepat untuk mengintegrasikan subunit organisasi. Untuk itu dalam proses diferensiasi memerlukan sebuah pengaturan agar sebuah subunit tidak terlalu terspesialisasi yang akan menyebabkan sulitnya melakukan komunikasi tiap subunit, oleh karena itu diperlukan adanya proses integrasi untuk menyeimbangkannya.
Integrasi adalah proses mengkoordinasikan berbagai tugas, fungsi, dan divisi agar dapat bekerja sama, tidak saling bertentangan. Ada enam mekanisme atau teknik integrasi yang dapat digunakan manajer saat tingkat diferensiasi pada organisasi mereka meningkat (Jones, 2013). Mekanisme paling sederhana adalah hierarki otoritas dan yang paling kompleks adalah departemen yang dibuat khusus untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai fungsi atau divisi.
Hierarki Otoritas
Teknik integrasi yang paling sederhana adalah hierarki otoritas, yang membedakan individu berdasarkan jumlah otoritas yang mereka miliki. Karena hierarki menentukan siapa yang melapor kepada siapa makai a akan mengoordinasikan berbagai peran dalam organisasi. Manajer harus dengan hati-hati membagi dan mengalokasikan otoritas dalam suatu fungsi dan antara satu fungsi dan fungsi lainnya untuk meningkatkan koordinasi.
- Kontak Langsung
Kontak langsung antara orang-orang di subunit yang berbeda adalah mekanisme integrasi kedua. Sering kali ada lebih banyak masalah yang terkait dengan penerapan mekanisme ini daripada dengan hierarki otoritas. Masalah utama integrasi lintas fungsi adalah bahwa seorang manajer di suatu fungsi tidak memiliki otoritas atas manajer di fungsi lain. Hanya Direktur Utama/Pimpinan Perusahaan atau beberapa manajer puncak lainnya di atas tingkat fungsional yang memiliki kekuatan untuk campur tangan jika dua bagian/fungsi yang berbeda mengalami konflik. Karena itu, membangun hubungan pribadi dan kontak profesional antara orang-orang di semua tingkatan dalam fungsi dan bagian yang berbeda merupakan langkah penting untuk mengatasi masalah yang timbul dikarenakan orientasi subunit yang berbeda. Manajer dari berbagai fungsi yang memiliki kemampuan untuk melakukan kontak langsung satu sama lain kemudian dapat bekerja sama untuk memecahkan masalah bersama dan mencegahnya muncul sejak awal.
- Pembentukan Tugas Penghubung
Ketika kebutuhan komunikasi antar dua subunit semakin meningkat dan urgent yang seringnya diakibatkan dari perubahan lingkungan yang cepat, sebagian anggota dari tiap subunit biasanya diberikan tanggung jawab utama untuk bekerja sama dan saling berkoordinasi dalam aktivitas subunit. Tiap individu yang memegang peran penghubung ini dapat mengembangkan koneksi dan komunikasi yang mendalam dengan individu di subunit lain. Interaksi ini membantu mengatasi hambatan antar subunit. Seiring waktu, ketika orang-orang yang berperan sebagai penghubung belajar untuk bekerja sama, mereka dapat menjadi semakin fleksibel dalam mengakomodasi permintaan subunit lain.
- Pembentukan Gugus Tugas
Seiring bertambahnya ukuran dan kompleksitas organisasi, lebih dari dua subunit mungkin akan perlu bekerja sama untuk memecahkan masalah umum. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk melayani pelanggannya secara efektif, misalnya, mungkin memerlukan masukan dari produksi, pemasaran, teknik, dan R&D. Solusi yang dibuat biasanya berbentuk gugus tugas, sebuah komite sementara yang dibentuk untuk menangani masalah tertentu. Satu atau beberapa anggota dari setiap fungsi bergabung dengan gugus tugas yang akan bertemu secara teratur hingga solusi untuk sebuah masalah ditemukan. Anggota gugus tugas kemudian bertanggung jawab untuk menjelaskan solusi yang dicapai ke tiap bagiannya untuk mendapatkan masukan dan persetujuan mereka. Untuk meningkatkan efektivitas gugus tugas, seorang manajer senior yang bukan anggota dari salah satu bagian yang terlibat biasanya memimpin rapat.
- Team
Ketika masalah yang dihadapi gugus tugas menjadi masalah strategis atau administratif yang sedang berlangsung, gugus tugas menjadi permanen. Tim adalah gugus tugas atau komite permanen. Sebagian besar perusahaan saat ini, misalnya, telah membentuk tim pengembangan produk dan kontak pelanggan untuk memantau dan menanggapi tantangan yang sedang berlangsung dari peningkatan persaingan di pasar global.
- Pengintegrasian Peran (Tugas) atau Departemen
Ketika organisasi menjadi besar dan kompleks, hambatan komunikasi antara fungsi dan divisi cenderung meningkat. Manajer di divisi yang membuat produk berbeda, misalnya, mungkin tidak akan pernah bertemu satu sama lain. Koordinasi antar subunit akan sangat sulit terutama dalam organisasi yang mempekerjakan ribuan orang. Salah satu cara untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan membuat peran terintegrasi yang mengoordinasikan subunit. Peran pengintegrasian adalah posisi manajerial penuh waktu yang dibentuk khusus untuk meningkatkan komunikasi antar divisi.
Masalah desain organisasi yang dihadapi adalah untuk menetapkan tingkat integrasi yang sesuai dengan tingkat diferensiasi organisasi. Manajer harus mencapai keseimbangan yang tepat antara diferensiasi dan integrasi. Organisasi kompleks yang sangat terdiferensiasi memerlukan integrasi tingkat tinggi untuk mengoordinasikan aktivitasnya secara efektif. Sebaliknya, ketika organisasi memiliki struktur peran yang relatif sederhana dan jelas, biasanya hanya perlu menggunakan mekanisme integrasi sederhana. Para manajer akan menemukan bahwa hierarki otoritas menyediakan semua kendali dan koordinasi yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan organisasi. Bagaimanapun, manajer perlu memastikan bahwa mereka tidak terlalu banyak melakukan diferensiasi atau integrasi pada organisasinya. Diferensiasi dan integrasi keduanya memakan biaya yang cukup banyak dalam hal jumlah manajer yang dipekerjakan dan jumlah waktu manajerial yang dihabiskan untuk mengkoordinasikan kegiatan organisasi.
Manajer yang menghadapi tantangan untuk memutuskan bagaimana dan seberapa besar untuk diferensiasi dan integrasi yang akan dilakukan harus melakukan dua hal, yang pertama ialah secara hati-hati membimbing proses diferensiasi sehingga organisasi bisa membangun kompetensi inti yang memberinya keunggulan kompetitif; dan yang kedua ialah secara hati-hati mengintegrasikan organisasi dengan memilih mekanisme koordinasi yang tepat yang memungkinkan subunit untuk berkomunikasi dan bekerja sama untuk memperkuat kompetensi intinya.
2. Penyeimbangan antara Diferensiasi dan Integrasi.
Dalam membahas diferensiasi vertikal, perlu dicatat bahwa membangun hierarki otoritas seharusnya dapat meningkatkan cara organisasi berfungsi karena masing-masing individu dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka karena hierarki menentukan wilayah otoritas setiap orang dalam organisasi. Namun, banyak perusahaan mengeluh bahwa ketika hierarki ada, karyawan terus-menerus mencari arahan kepada atasan mereka. Ketika beberapa masalah baru atau masalah yang tidak biasa muncul, mereka memilih untuk tidak menghadapinya, atau mereka meneruskannya kepada atasan mereka, daripada berasumsi terhadap tanggung jawab dan risiko menghadapinya. Karena tanggung jawab dan pengambilan risiko menurun, demikian pula kinerja organisasi, karena anggotanya tidak memanfaatkan peluang baru untuk menggunakan kompetensi intinya. Ketika tidak ada yang mau mengambil tanggung jawab, pengambilan keputusan menjadi lambat dan organisasi menjadi tidak fleksibel sehingga tidak dapat berubah dan beradaptasi dengan perkembangan baru.
Sentralisasi vs Desentralisasi Otoritas
Otoritas memberi satu individu kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban individu lain atas tindakan mereka dan hak untuk membuat keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi. Diferensiasi vertikal melibatkan pilihan tentang bagaimana mendistribusikan otoritas. Tetapi walaupun dengan terbentuknya hierarki otoritas, persoalan seperti seberapa banyak otoritas pengambil keputusan yang akan didelegasikan ke setiap tingkat harus diselesaikan.
Sangatlah dimungkinkan untuk merancang sebuah organisasi di mana para manajer di puncak hierarki memiliki semua kewenangan untuk membuat keputusan penting. Bawahan menerima perintah dari atas, bertanggung jawab atas seberapa baik mereka mematuhi perintah tersebut, dan tidak memiliki kewenangan untuk memulai tindakan baru atau menggunakan sumber daya untuk tujuan yang mereka yakini penting. Ketika otoritas untuk membuat keputusan penting dipegang oleh manajer di puncak hierarki, otoritas dikatakan sangat terpusat. Sebaliknya, ketika otoritas untuk membuat keputusan penting tentang sumber daya organisasi dan untuk memulai proyek baru didelegasikan kepada manajer di semua tingkatan dalam hierarki, otoritas akan sangat terdesentralisasi.
Setiap alternatif memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keuntungan dari sentralisasi adalah memungkinkan manajer puncak mengoordinasikan kegiatan organisasi dan menjaga organisasi tetap fokus pada tujuannya. Sentralisasi akan menjadi masalah, ketika manajer puncak menjadi kelebihan beban dan tenggelam dalam pengambilan keputusan operasional tentang masalah sumber daya sehari-hari. Ketika ini terjadi, mereka hanya memiliki sedikit waktu yang dihabiskan untuk pengambilan keputusan strategis jangka panjang dan perencanaan kegiatan organisasi masa depan yang penting. Hal-hal penting seperti memutuskan strategi terbaik untuk tetap kompetitif akan sering terabaikan.
Keuntungan dari desentralisasi adalah bahwa ia mengutamakan fleksibilitas dan daya tanggap dengan memungkinkan manajer tingkat yang lebih rendah untuk membuat keputusan. Manajer tetap bertanggung jawab atas tindakan mereka tetapi memiliki kesempatan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dan mengambil risiko. Selain itu, pada otoritas terdesentralisasi manajer dapat membuat keputusan penting yang memungkinkan mereka menunjukkan keterampilan dan kompetensi pribadi mereka dan mungkin akan lebih termotivasi untuk bekerja dengan baik. Kelemahan dari desentralisasi adalah jika begitu banyak wewenang yang didelegasikan sehingga para manajer di semua tingkatan dapat membuat keputusan sendiri, perencanaan dan koordinasi akan menjadi sangat sulit. Dengan demikian, terlalu banyak desentralisasi dapat menyebabkan organisasi kehilangan kendali atas proses pengambilan keputusannya.
Tantangan yang timbul dalam perancangan struktur organisasi adalah menentukan keseimbangan yang tepat antara sentralisasi dan desentralisasi pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Jika otoritas terlalu terdesentralisasi, manajer memiliki begitu banyak kebebasan sehingga mereka dapat mengejar tujuan dan sasaran fungsional mereka sendiri dengan mengorbankan tujuan organisasi. Sebaliknya, jika otoritas terlalu terpusat dan manajemen puncak membuat semua keputusan penting, manajer di bawah hierarki menjadi takut untuk membuat langkah baru dan tidak memiliki kebebasan untuk menanggapi masalah yang muncul dalam kelompok dan departemen mereka sendiri.
Yang ideal adalah seimbangnya sentralisasi dan desentralisasi otoritas sehingga manajer level menengah dan level bawah diizinkan untuk membuat keputusan penting, dan tanggung jawab utama manajer puncak menjadi pengambil keputusan strategis jangka panjang. Jadi akan muncul keseimbangan yang baik antara pembuatan strategi jangka panjang dan fleksibilitas dan inovasi jangka pendek karena manajer level menengah dan level bawah dapat merespons dengan cepat masalah dan perubahan lingkungan bisnis yang terjadi.
3. Penyeimbangan antara Standarisasi dan Mutual Adjustment
Tantangan yang dihadapi semua organisasi, besar dan kecil, adalah merancang struktur yang mencapai keseimbangan yang tepat antara standardisasi dan mutual adjustment. Standardisasi adalah kesesuaian dengan model atau aturan tertentu biasanya ditentukan oleh seperangkat aturan, prosedur, dan norma yang sudah terbentuk dengan baik yang dianggap tepat dalam situasi tertentu. Pengambilan keputusan dan koordinasi standar melalui aturan dan prosedur membuat tindakan orang menjadi rutin dan dapat diprediksi. Sedangkan, mutual adjustment adalah proses yang berkembang di mana orang menggunakan lagsung penilaian terbaik mereka atas suatu kejadian daripada menggunakan aturan standar untuk mengatasi sebuah masalah, memandu pengambilan keputusan, dan melakukan koordinasi. Keseimbangan yang tepat antara dua aspek ini membuat banyak tindakan dapat diprediksi sehingga tugas dan tujuan organisasi tercapai, namun tetap memberikan kebebasan kepada karyawan untuk berperilaku fleksibel sehingga mereka dapat merespons situasi yang cepat berubah dan tantangan-tantangan baru secara kreatif.
Tantangan desain yang dihadapi manajer adalah menemukan cara terbaik untuk menggunakan aturan dan norma untuk menstandarisasi perilaku, sementara pada saat yang bersamaan memungkinkan penyesuaian untuk memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menemukan cara baru dan lebih baik untuk mencapai tujuan organisasi. Manajer menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan akan standardisasi dengan kebutuhan mutual adjustment perlu mengingat bahwa individu pada hierarki atau fungsi yang lebih tinggi akan melakukan tugas yang kompleks dan penuh ketidakpastian, dan ia akan lebih mengandalkan mutual adjustment dibanding standardisasi untuk mengoordinasikan tindakan mereka.
Dinalogika. Tantangan dalam Menyusun Desain Struktur Organisasi. [online] Tersedia di: https://dinalogika.com/index.php/2021/08/13/tantangan-dalam-menyusun-desain-struktur-organisasi/ [Diakses 13 Agustus 2021]
Desain dan Perubahan Struktur Organisasi
Perubahan struktural adalah perubahan yang dilakukan pada struktur organisasi yang mungkin berasal dari faktor internal atau eksternal dan biasanya mempengaruhi bagaimana perusahaan dijalankan. Perubahan struktural mencakup hal-hal seperti hierarki organisasi, rantai komando, sistem manajemen, struktur pekerjaan, dan prosedur administratif. Selain itu juga pada keadaan yang biasanya menciptakan kebutuhan untuk perubahan struktural termasuk merger dan akuisisi, duplikasi pekerjaan, perubahan pasar dan proses atau perubahan kebijakan.
Pembahasan mengenai perubahan organisasi perlu memperhatikan peran dari sistem dan struktur formal. Sistem dan Struktur tersebut akan memengaruhi apa yang akan diselesaikan, bagaimana hal itu akan dilaksanakan, tujuan yang ingin dicapai, dan pengalaman orang-orang yang berhubungan dengan organisasi. Sebuah organisasi akan menentukan sistem dan strukturnya, sistem dan struktur tersebut nantinya akan membentuk perilaku anggota organisasi. Sistem dan struktur formal memainkan peran penting dalam koordinasi, komunikasi, control, dan memengaruhi bagaimana keputusan perubahan akan dibuat. Terkadang sistem dan struktur juga menunjukan apa yang perlu diubah.
Struktur formal organisasi ditentukan oleh bagaimana tugas secara formal dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan. Struktur formal dirancang untuk mendukung arah strategis perusahaan dengan meningkatkan ketertiban, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Struktur formal organisasi berfungsi sebagai panduan dan kontrol pada otoritas pembuat keputusan. Fungsi lainnya yaitu mengkoordinasikan dan mengintegrasikan aspek-aspek operasional, memberikan panduan untuk tata kelola internal perusahaan, kemudian berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai dan perilaku yang diinginkan serta hasil yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi.
Sistem formal mencakup rutinitas dan proses yang direncanakan seperti perencanaan strategis, sistem control dan akuntansi, manajemen kinerja, sistem penggajian dan penghargaan pegawai, dan sistem informasi. Secara kolektif, Sistem Formal ini menetapkan bagaimana hal-hal seharusnya dilakukan, aturan dan prosedur yang harus diikuti, bagaimana alur informasi (pengumpulan dan penyebaran informasi), dan semua sistem serta proses formal lainnya yang digunakan untuk koordinasi, integrasi, dan kontrol. Sistem tersebut menyediakan infrastruktur formal yang akan menjalankan sebuah struktur organisasi.
Diferensiasi
Diferensiasi adalah proses di mana organisasi mengalokasikan orang dan sumber daya untuk tugas-tugas organisasi dan menetapkan hubungan tugas dan otoritas yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Singkatnya, ini adalah proses pembentukan dan pengendalian pembagian kerja, atau tingkat spesialisasi, dalam organisasi.
Sejauh mana tugas dibagi menjadi pekerjaan atau tugas terpisah. Konsep ini berkaitan dengan siapa melakukan apa dan bertanya tentang sejauh mana pekerjaan dikhususkan dan berbeda satu sama lain pada sumbu organisasi horizontal dan vertikal. Diferensiasi tugas merupakan langkah awal dalam kehidupan petualangan wirausaha yang berkembang dari satu menjadi dua dan kemudian tiga orang, dengan diferensiasi tugas lebih lanjut seiring dengan bertambahnya jumlah karyawan. Saat organisasi tumbuh dan menambah lebih banyak orang, tugas dibagi dan dibagi lagi. Organisasi besar, sebagai konsekuensinya, sering dicirikan oleh pekerjaan yang sangat terspesialisasi, yang mengarah pada silo tugas dan kategori pekerjaan yang serupa dan terpisah (Cawsey, 2016).
Komponen utama penyusun diferensiasi adalah peran organisasi. Peran organisasi adalah sekumpulan perilaku terkait tugas yang dibutuhkan seseorang oleh posisinya dalam suatu organisasi. Seseorang yang diberi peran dengan tugas dan tanggung jawab yang dapat diidentifikasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas sumber daya yang digunakan untuk menyelesaikan tugas dari posisi itu.
Ketika pembagian kerja meningkat dalam suatu organisasi, manajer mengkhususkan diri dalam beberapa peran dan mempekerjakan orang untuk mengkhususkan diri pada orang lain. Spesialisasi memungkinkan orang untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan individu mereka, yang merupakan sumber utama dari kompetensi inti organisasi.
Struktur organisasi didasarkan pada sistem peran yang saling terkait, dan hubungan satu peran dengan peran lainnya ditentukan oleh perilaku terkait tugas. Beberapa peran mengharuskan orang untuk mengawasi perilaku orang lain.
Seseorang yang dapat meminta pertanggungjawaban orang lain atas kinerjanya memiliki otoritas atas orang lain. Otoritas adalah kekuatan untuk meminta pertanggungjawaban orang atas tindakan mereka dan untuk membuat keputusan tentang bagaimana menginvestasikan dan menggunakan sumber daya organisasi. Diferensiasi pada organisasi kedalam peran organisasi individu akan menghasilkan kewenangan dan tanggung jawab yang jelas untuk setiap peran dalam sistem. Ketika seorang individu memahami dengan jelas tanggung jawab perannya dan apa yang akan diminta atasan dari individu tersebut, maka hasilnya ialah munculnya kontrol atau kemampuan mengoordinasikan dan memotivasi orang untuk bekerja dalam kepentingan organisasi di dalam perusahaan.
Di sebagian besar organisasi, orang dengan peran serupa dan terkait dikelompokkan ke dalam subunit. Subunit utama yang berkembang dalam sebuah organisasi adalah fungsi dan divisi. Fungsi adalah subunit yang terdiri dari sekelompok orang, yang bekerja bersama, yang memiliki keterampilan serupa atau menggunakan jenis pengetahuan, alat, atau teknik yang sama untuk melakukan pekerjaan mereka. Divisi adalah subunit yang terdiri dari kumpulan fungsi atau departemen yang berbagi tanggung jawab untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu. Perbedaan fungsi dan divisi yang dimiliki organisasi adalah pada ukuran kompleksitas organisasi dalam tingkat diferensiasinya. Diferensiasi sebuah organisasi kedalam fungsi dan divisi akan meningkatkan kontrol organisasi atas aktivitasnya dan memungkinkan organisasi untuk menyelesaikan tugasnya dengan lebih efektif.
Seiring bertambahnya ukuran, organisasi akan berdiferensiasi menjadi lima jenis fungsi. Yang pertama ialah fungsi pendukung yang memfasilitasi kontrol organisasi atas hubungan dengan lingkungannya dan pemangku kepentingannya. Selanjutnya fungsi produksi yang akan mengelola dan meningkatkan efisiensi proses sehingga lebih banyak hasil yang dapat dihasilkan. Fungsi pemeliharaan yang memungkinkan organisasi untuk menjaga departemennya untuk tetap beroperasi dengan optimal. Fungsi pemeliharaan mencakup bagian SDM, untuk merekrut dan melatih karyawan serta meningkatkan keterampilan; bagian umum & ME atau bagian bengkel, untuk memperbaiki mesin yang rusak; dan layanan keamanan dan kebersihan, untuk menjaga lingkungan kerja tetap aman dan sehat. Yang keempat merupakan fungsi adaptif yang memungkinkan organisasi menyesuaikan dengan perubahan lingkungan. Fungsi adaptif meliputi penelitian dan pengembangan, penelitian pasar, dan perencanaan jangka panjang, yang memungkinkan organisasi untuk belajar dan berusaha mengelola lingkungannya dan dengan demikian meningkatkan kompetensi intinya. Terakhir ialah fungsi manajerial yang bertugas untuk memfasilitasi pengendalian dan koordinasi kegiatan di dalam dan antar departemen. Manajer pada tiap tingkatan organisasi yang berbeda mengarahkan akuisisi, investasi, dan kontrol sumber daya untuk meningkatkan kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai. Manajemen puncak, misalnya, bertanggung jawab untuk merumuskan strategi dan menetapkan kebijakan yang digunakan organisasi untuk mengendalikan lingkungannya. Manajer tingkat pertengahan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya organisasi untuk mencapai tujuannya. Manajer tingkat bawah mengawasi dan mengarahkan aktivitas tenaga kerja.
Diferensiasi Vertikal dan Horizontal
Bagan organisasi merupakan gambar yang menunjukkan hasil akhir dari diferensiasi organisasi. Setiap kotak pada bagan mewakili peran atau fungsi dalam organisasi. Setiap peran memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Bagan organisasi secara vertikal membedakan peran organisasi dalam hal otoritas sesuai dengan peran masing-masing. Klasifikasi orang yang didasari pada otoritas dan pangkat relatif mereka disebut hierarki. Peran di puncak hierarki organisasi memiliki lebih banyak otoritas dan tanggung jawab daripada peran yang lebih bawah di hierarki. Setiap peran yang lebih rendah berada di bawah kendali atau pengawasan peran yang lebih tinggi. Manajer yang merancang sebuah organisasi harus membuat keputusan tentang seberapa besar diferensiasi vertikal yang harus dimiliki dalam organisasi atau berapa banyak tingkatan yang harus ada dari atas ke bawah. Seperti bisa dilihat dalam Gambar 2.1 Diferensiasi vertikal mengacu pada cara organisasi mendesain hierarki otoritasnya dan menciptakan hubungan tanggung jawab pelaporan untuk menghubungkan peran dan subunit organisasi. Diferensiasi vertikal menetapkan distribusi kewenangan antar tingkat untuk memberi organisasi lebih banyak kendali atas aktivitasnya dan meningkatkan kemampuannya untuk menghasilkan tujuan organisasi.
Gambar Skema Diferensiasi Horizontal dan Diferensiasi Vertikal
Bagan organisasi secara horizontal membedakan peran sesuai dengan tugas utama mereka. Diferensiasi horizontal merujuk pada bagaimana cara organisasi mengelompokkan tugas-tugasnya menjadi peran, dan memasukan peran-peran tersebut ke dalam masing-masing subunit (fungsi dan divisi). Diferensiasi horizontal menentukan pembagian kerja yang memungkinkan tiap individu dalam suatu organisasi menjadi lebih terspesialisasi dan produktif serta dapat dengan mudah meningkatkan kemampuannya. Jones (2013) membagi tantangan dalam proses penentuan dan penyusunan struktur organisasi kedalam tiga aspek yaitu Aspek Diferensiasi & Integrasi, aspek sentralisasi & desentralisasi, serta aspek standarisasi & mutual adjustment.
Cawsey, T.F., Deszca, G, and Ingols, C, (2016). Organizational Change: An Action-Oriented Toolkit. 3rd ed. Thousand Oaks, California: SAGE Publication.
Jones, Gareth R., (2013). Organizational Theory, Design, and Change. 7th ed. Essex: Pearson Education Inc.
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Dinalogika. Desain dan Perubahan Struktur Organisasi. [online] Tersedia di: https://dinalogika.com/2021/desain-dan-perubahan-struktur-organisasi/ [Diakses 13 Agustus 2021]
Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah suatu sistem yang menguraikan bagaimana suatu kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan sebuah organisasi. Kegiatan ini dapat mencakup aturan, peran, dan tanggung jawab. Struktur organisasi juga menentukan bagaimana aliran informasi dan tanggung jawab antar level dalam perusahaan.
Struktur organisasi akan memberikan gambaran visual kepada perusahaan tentang bagaimana bentuk dan cara terbaik untuk menjalankan bisnis dalam mencapai tujuan perusahaan. Struktur organisasi biasanya diilustrasikan dalam semacam bagan atau diagram seperti piramida, di mana anggota organisasi yang paling memiliki otoritas penuh ditempatkan di atas, sedangkan mereka yang paling sedikit kewenangannya terdapat di bawah bagan. Tidak adanya struktur formal mungkin akan menyulitkan sebuah organisasi untuk bergerak. Misalnya, karyawan mungkin kesulitan mengetahui kepada siapa mereka harus melapor. Hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian tentang siapa yang bertanggung jawab atas hal-hal tertentu di dalam organisasi.
Memiliki struktur yang siap dapat membantu efisiensi dan memberikan kejelasan bagi semua orang di setiap level. Itu juga berarti setiap departemen bisa lebih produktif, karena mereka cenderung lebih fokus pada energi dan waktu.
Terdapat tiga komponen kunci yang mencirikan struktur organisasi (Daft, 2010) yaitu:
- Struktur organisasi menunjukkan hubungan pelaporan formal, termasuk jumlah level dalam hierarki dan rentang kendali manajer dan supervisor.
- Struktur organisasi mengidentifikasi pengelompokan individu ke dalam sebuah unit dan unit tersebut ke dalam keseluruhan organisasi.
- Struktur organisasi mencakup desain sistem untuk memastikan komunikasi yang efektif, koordinasi, dan integrasi lintas departemen.
Ketiga komponen struktur ini berkaitan dengan aspek pengorganisasian vertikal dan horizontal. Misalnya, dua komponen pertama adalah kerangka struktural, yang merupakan hierarki vertikal. Sedangkan komponen ketiga berkaitan dengan pola interaksi antar karyawan organisasi. Struktur yang ideal mendorong karyawan untuk memberikan informasi dan koordinasi horizontal di mana dan kapan diperlukan.
Daft, Richard L., (2010). Organization Theory and Design. 10th ed. Mason, OH: South-Western Cengage Learning.
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Dinalogika. Struktur Organisasi. [online] Tersedia di: https://dinalogika.com/2021/struktur-organisasi/ [Diakses 23 Agustus 2021]
Mengapa Perlu Knowledge Management (3)
KM Sebagai Mesin Ekonomi
Simpulan tentang fenomena ekonomi Indonesia antara 1984 dan 2015 diantaranya:
- Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam sangat besar.
- Sumber daya alam Indonesia merupakan ”mesin” pertumbuhan ekonomi nasional.
- GDP/Cap telah digunakan untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
- Informasi sejak tahun 1960 sampai 2015 menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP/Cap Indonesia bergerak lambat, khususnya jika dibandingkan dengan Korea Selatan.
- Analisis membuktikan bahwa GDP/Cap Indonesia berkorelasi negatif dengan indeks EPI dan berkorelasi positif dengan indeks GINI Indonesia. Artinya, makin besar GDP/Cap Indonesia sejalan dengan makin rusaknya lingkungan hidup dan makin besarnya kesenjangan pendapatan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin Indonesia.
- Saran: Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebaiknya digunakan kriteria pertumbuhan kesejahteraan yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainble economy development), yakni dengan menggunakan indikator GDP/Cap, juga sebaiknya dilengkapi dengan kriteria kinerja lingkungan (indeks EPI) dan kriteria kinerja sosial (indeks GINI).
Kondisi ini merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Kita perlu mencari alternatif yang lebih efektif untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, yakni dengan mengombinasikan antara strategi pertumbuhan ekonomi berbasis SDA dan strategi pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan. Dengan catatan, potensi modal pengetahuan nasional harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi berkelanjutan, yang ditandai dengan mengecilnya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin serta menghasilkan pembangunan ekonomi yang tidak merusak lingkungan.
Uraian berikut akan menjelaskan konsep ekonomi berbasis pengetahuan dan bagaimana kinerja ekonomi Indonesia dalam hal indeks ekonomi pengetahuan kita, relatif jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.
A. Indonesia Menuju Negara Berbasis Pengetahuan dan Sumber Daya Alam
Dunia sudah masuk pada era pengetahuan yang telah melahirkan tatanan kehidupan baru. Era ini memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan era industri manual dan era industri berbasis mesin. Era pengetahuan sudah melahirkan pendekatan ekonomi baru yang dikenal sebagai ekonomi berbasis pengetahuan.
Ekonomi suatu negara bisa dikategorikan sebagai ekonomi berbasis pengetahuan apabila ekonomi dari negara tersebut dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan sebagai ”mesin” utama pertumbuhan ekonominya. Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur seberapa besar kontribusi pengetahuan dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara, bisa digunakan indeks ekonomi-pengetahuan (knowledge-economy index–KEI) yang dikembangkan oleh World Bank.
Gambar 10 menunjukkan nilai KEI beberapa negara Asia/ASEAN pada tahun 2012; dapat dilihat bahwa indeks ekonomi pengetahuan Indonesia hanya menang dari Kamboja, Laos, dan Myanmar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai negara yang mampu memanfaatkan pengetahuan sebagai modal utama untuk meningkatkan kinerja ekonominya. Rendahnya indeks ekonomi pengetahuan (KEI) Indonesia ini berkorelasi dengan rendahnya GDP/Cap Indonesia.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.
Gambar 10. Kinerja Knowledge Economy Index (KEI) Beberapa Negara Asia/Asean Sumber: The World Bank (2012)
Gambar 11 menunjukkan hasil analisis World Bank pada tahun 2012 bahwa ada hubungan berbentuk eksponensial antara GDP/Cap dan KEI–makin besar nilai indeks ekonomi pengetahuan sebuah negara, juga memiliki indeks GDP/Cap yang tinggi pula (di antaranya Swiss, Jepang, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan lain-lain). Sebaliknya, negara-negara yang memiliki indeks ekonomi pengetahuan rendah juga memiliki indeks GDP/Cap yang rendah. Indonesia ada pada kelompok negara yang memiliki indeks KEI dan GDP/Cap yang rendah.
Adanya hubungan pengaruh dari indeks KEI terhadap indeks GDP/Cap sebuah negara menunjukkan bahwa dalam membangun kinerja ekonomi (GDP/Cap) sebuah negara, strategi dengan menggunakan prinsip ekonomi berbasis pengetahuan lebih efektif dibandingkan dengan prinsip ekonomi berbasis sumber daya alam.
Sumber: The World Bank (2012)
Gambar 12. Perbandingan Pilar Knowledge Economy antara Indonesia, Republik Korea Selatan, dan Finlandia
Sumber: The World Bank (2012)
Lebih jauh, Gambar 12 di atas menunjukkan bahwa untuk keempat pilar Knowledge Economy yang dikembangkan oleh Economic Incentive and Institution Regime; Education; Innovation and ICT, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Korea Selatan dan Finlandia (negara dengan kelompok KEI terbaik di dunia). Untuk perbandingan, Finlandia ataupun Korea Selatan menjadi negara dengan KEI yang tinggi, di antaranya dengan mengutamakan kualitas pendidikan warganya sehingga pilar education memiliki skor tinggi di dunia. Khusus untuk Finlandia, contoh negara yang mampu mengombinasikan strategi pengembang ekonomi berbasis pengetahuan dengan berbasis SDA. Finlandia bisa menjadi contoh baik untuk Indonesia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Indonesia belum berhasil menerapkan ekonomi berbasis pengetahuan. Ekonomi Indonesia masih berbasis sumber daya alam sehingga kinerja ekonomi nasional (GDP) jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara yang ekonominya sudah berbasis pengetahuan.
- Rendahnya Knowledge Economy Indonesia mengakibatkan rendahnya kinerja ekonomi (GDP/Cap) nasional.
- Di samping itu, selain nilai Knowledge Economy Indonesia yang relatif rendah, pertumbuhan kinerja ekonomi nasional juga kurang terkendali sehingga naiknya kinerja ekonomi nasional justru berdampak negatif pada kerusakan lingkungan dan meningkatkan kesenjangan sosial.
- Kita memerlukan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan berkeadilan. Oeh karena itu, indikator pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan sebaiknya diukur oleh tiga indeks parameter, yaitu KEI, GDP/Cap, dan EPI, sedangkan indikator pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan sebaiknya diukur oleh dua indeks parameter, yakni EPI dan GINI.
Karena Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alamnya, maka strategi perkembangan ekonomi yang sesuai adalah kombinasi antara perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan dan berbasis SDA.
Penulis: Jann Hidajat Tjakraatmadja, Didin Kristinawati
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Tjakraatmadja, Jann. H. & Kristinawati, D. (2017). Strategi Implementasi Knowledge Management. Bandung: Penerbit ITB
Mengapa Perlu Knowledge Management (2)
Pada bagian MENGAPA PERLU KNOWLEDGE MANAGEMENT (1) dikatakan bahwa pengetahuan berlimpah, tetapi insan adalah makhluk pelupa, maka untuk mengelola pengetahuan personal agar tetap terpelihara dan terbarukan, dibutuhkan sistem dan teknologi, yang disebut Personal KM.
Setelah dijelaskan pentingnya mengelola pengetahuan di tingkat personal, maka selanjutnya peran Knowledge Management (KM) di tingkat organisasi.
KM Sebagai Mesin Organisasi
A. Peran Tenaga Kerja dalam Organisasi
Organisasi modern menganggap dan memperlakukan tenaga kerja sebagai modal organisasi (modal insani), sedangkan organisasi tradisional menganggap dan memperlakukan karyawan hanya sebagai sumber daya atau bahkan hanya sebagi ”alat produksi”. Evolusi cara pandang (paradigma) tentang tenaga kerja dalam organisasi di atas menyebabkan evolusi istilah tentang pengelolaan insan dalam organisasi; dari Administrasi Personalia berubah menjadi Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management), hingga sejak tahun 1990-an berubah menjadi Manajemen Modal Insani (Human Capital Management) yang memperlakukan insan sebagai modal tidak berwujud organisasi.
Perubahan cara pandang itu sangat mendasar dengan sebuah keyakinan bahwa kesalahan pengelolaan tenaga kerja organisasi bisa mengubah peran tenaga kerja dari modal (capital) menjadi beban (liability) organisasi.
Secara umum, berikut perbedaan hakiki peran tenaga kerja dalam sebuah organisasi atau bahkan peran masyarakat dalam sebuah negara:
- Tenaga Kerja sebagai Modal Insani
Tenaga kerja menjadi Modal Insani organisasi ketika tenaga kerja sudah mencapai taraf dewasa, dengan sikap dan perilaku yang positif, serta memiliki kompetensi kerja yang baik sehingga mampu menjadi ”mesin” organisasi atau modal untuk membangun kapabilitas organisasi. Remunerasi yang diberikan oleh organisasi akan dapat dikembalikan (memberikan capital return) kepada organisasi jauh melebihi nilai remunerasi yang diberikan organisasi. Ketika organisasi mendapat capital return yang lebih besar dari remunerasi yang dibayarkannya, maka dapat dikatakan bahwa tenaga kerja tersebut telah mampu berperan sebagai Modal Insani sehingga keberadaannya mampu menjadi ”mesin” untuk menciptakan nilai tambah (return lebih besar dari remunerasi) untuk menumbuhkembangkan organisasi.
2. Tenaga Kerja sebagai Beban Insani (Human Liability)
Ketika tenaga kerja belum mencapai tingkat dewasa dicirikan oleh sikapnya yang mementingkan diri sendiri dan berperilaku negatif serta kompetensi kerjanya rendah, maka keberadaannya menurunkan kapabilitas organisasi. Pada kondisi ini, tenaga kerja akan menjadi beban (human liability) buat organisasi, yang keberadaannya menimbulkan dampak negatif terhadap penciptaan nilai tambah organisasi; dengan ciri utamanya yaitu remunerasi yang diberikan organisasi kepada tenaga kerja yang bersangkutan, ternyata lebih besar dari nilai return yang diberikan oleh tenaga kerja tersebut. Berdasarkan pengalaman selama ini, tidak ada organisasi yang akan mampu bertahan (survive) ketika tenaga kerjanya justru berperan sebagai beban organisasi.
Melihat fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tenaga kerja dalam organisasi bisa menjadi Modal Insani (Human Capital) organisasi atau justru menjadi Beban Insani organisasi (Human Liabilities), yang menjadi penyebab bangkrutnya organisasi.
Pertanyaannya: Apakah tenaga kerja yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman akan secara otomatis mampu berperan sebagai modal insani organisasi?
Ternyata efektif atau tidak efektifnya peran tenaga kerja dalam organisasi, tidak hanya ditentukan oleh kompetensinya, tetapi sering juga dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasi lainnya. Gabungan antara penyebab internal tenaga kerja (kompetensi) dan faktor-faktor organisasi telah menimbulkan fenomena baru, sebagai berikut:
- ”Kebanyakan tenaga kerja hanya menggunakan 2,5% dari kapasitas otaknya”. Tuhan telah memberikan bekal kepada insan berupa otak yang memiliki kapasitas sangat besar agar insan mampu berperan untuk menciptakan rahmatan lil alamin (menjadi sumber rahmat bagi sekalian alam) dalam hidupnya. Namun faktanya, kebanyakan insan yang berperan sebagai tenaga kerja, justru malas untuk belajar mencari pengetahuan sebagai bekal hidup ataupun bekal setelah matinya sehingga kebanyakan tenaga kerja hanya menggunakan maksimum 2,5% dari kapasitas otaknya.
- Dari 2,5% kapasitas otak yang berisi pengetahuan dan pengalamannya, kebanyakan hanya 20% dari kapasitas pengetahuannya itu (0,5% kapasitas pengetahuannya) berhasil dieksplisitkan (baca: diamalkan). Apa yang kita tahu (pengetahuan tasit) jauh lebih besar daripada yang bisa kita aplikasikan (pengetahuan eksplisit). Untuk mampu mengaplikasikan apa yang kita tahu, memang masih perlu kemampuan untuk mentransformasikan pengetahuan tasit menjadi pengetahuan eksplisit sehingga yang betul-betul bisa menciptakan nilai tambah dari apa yang diaplikasikan, umumnya hanya sekitar 0,5% dari kapasitas pengetahuan tasitnya. Artinya, sebanyak 2,0% dari pengetahuan yang dimilikinya masih dalam bentuk pengetahuan tasit.
- Yang kita tahu lebih banyak dari yang bisa kita ucapkan. Yang bisa kita ucapkan lebih banyak dari yang bisa kita tulis dan yang bisa kita tulis akan lebih banyak dari yang bisa kita aplikasikan (eksplisitkan). Fenomena ini menguatkan hambatan insan untuk transformasi dari pengetahuan tasit (yang kita tahu), menjadi pengetahuan eksplisit (yang bisa kita amalkan), sampai menciptakan nilai tambah atau manfaat. Oleh sebab itu, kita perlu menguasai proses transformasi yang baik atau harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan insan (humanis).
- Pengetahuan yang ada dalam otak insan bisa hilang/mubazir karena dibawa pindah kerja/pensiun/mati. Ketika ada insan yang pindah kerja/pensiun/mati, maka secara otomatis ia akan membawa pengetahuan/pengalamannya, dan itu artinya pengetahuan/pengalaman tersebut bisa hilang dari organisasi kita. Untuk mengembalikan pengetahuan/pengalaman yang hilang, akan diperlukan waktu, biaya, serta risiko kegagalan, terutama jika perusahaan memilih strategi merekrut secara horizontal (membajak tenaga kerja yang memiliki pengetahuan/pengalaman setara dari perusahaan lain) atau mengembangkan tenaga kerja baru sampai memiliki pengetahuan kira-kira setara dibandingkan dengan pengetahuan/pengalaman yang hilang dibawa tenaga kerja yang keluar.
B. Mengapa Organisasi Perlu KM?
Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menjelaskan bahwa perilaku kehidupan di era pengetahuan telah dan akan terus berubah dengan cepat. Tidak hanya itu, sifatnya akan lebih kompleks dan sekaligus penuh ketidakpastian. Cepatnya tuntutan perubahan tatanan kehidupan organisasi, utamanya disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan saat ini berkembang dengan sangat pesat. Pengetahuan atau teknologi pada akhirnya akan makin cepat usang sehingga jika kurikulum sebuah perguruan tinggi tidak mengikuti dinamika perkembangan pengetahuan dan para mahasiswanya lulus rata-rata empat tahun, maka besar kemungkinan ketika dia lulus pengetahuannya sudah usang.
Organisasi modern berlomba untuk melakukan inovasi berbasis pengetahuan (knowledge driven innovation) yang bersumber dari pengetahuan para tenaga kerjanya. Dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, paradigma manajemen telah mengalami perubahan yang terjadi secara berkelanjutan, dipicu oleh pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan insan. Manual-worker yang dominan pada abad ke-20 sudah tidak relevan lagi dan organisasi saat kini sangat ditentukan oleh kualitas serta kuantitas dari knowledge-workers. Begitu pula penguasa organisasi, semula didominasi oleh pemilik dana telah berubah, sekarang orang dikuasai oleh pemilik pengetahuan, khususnya karyawan yang memiliki kompetensi yang selalu terbarukan, yang diperlukan untuk meningkatkan inovasi atau kinerja organisasi.
Pengetahuan harus diperlakukan sebagai modal yang paling berharga untuk organisasi di abad ke-21, khususnya Modal Insani yang mampu berperan sebagai ”mesin” pencipta nilai tambah dan mampu meningkatkan daya saing bisnis – mampu menciptakan return terbesar bagi organisasi – (Drucker, 1999). Alat bantu manajer dalam menjalankan bisnisnya telah berevolusi, tetapi benang merah yang digunakan tetap yaitu pengetahuan, pengalaman, dan modal intelektual. Benang merah untuk mengelola dan mengendalikan organisasi untuk mencapai kinerja bisnis terbaik saat ini disebut Knowledge Management (KM); Tiwana, 1999. Knowledge Management menjadi alat manajemen untuk menciptakan produktivitas, kualitas, profitibilitas, dan inovasi organisasi dengan mengombinasikan KM dengan Strategi Bisnis untuk mencapai sasaran bisnis sekaligus kinerja organisasi dan operational performance (Swain & Ekionea, 2008).
Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menunjukkan hasil studi yang dilakukan oleh Ellen de Rooij dari Statix Group, bahwa rata-rata ekspektasi hidup organisasi di Eropa (tanpa memandang ukuran organisasinya) ternyata hanya 12,5 tahun. Pada beberapa negara, bahkan hanya 40% dari semua organisasi yang baru didirikan dapat mencapai umur kurang dari 10 tahun (artinya, sekitar 60% organisasi yang baru didirikan ’hilang’ sebelum mencapai umur 10 tahun).
Namun, ada juga organisasi yang berumur hingga ratusan tahun. Studi Peter Senge menunjukkan bahwa organisasi-organisasi kelas dunia yang tercatat dalam Fortune 500, mempunyai rata-rata hidup 40-50 tahun. Menurut De Geus (1997), organisasi dapat berumur panjang karena mempunyai karakteristik sebagai organisasi yang ’hidup’ (the living company). Organisasi yang hidup mempunyai ’pikiran’ dan ’karakter’ yang unik sehingga mempunyai kemampuan untuk belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman (seperti makhluk hidup). Pada organisasi ini, pengetahuan menjadi sumber daya yang bersifat tangible sekaligus intangible, dan bisa ditangkap, disimpan, disebarkan serta di-share (berbagi pengetahuan) untuk menghasilkan inovasi organisasi.
Situs epistree.com (http://www.epistree.com/KnowledgeInfrastructure. aspx) menyebutkan bahwa rata-rata organisasi kehilangan produktivitasnya dari 8% sampai 17% per tahun. Karena hilangnya dan pengetahuan data yang semula dimiliki organisasi, maka mencari adalah sebuah usaha yang sudah menghasilkan nilai tambah pemborosan. Sementara itu, para pekerja di Amerika Serikat memakai 10% sampai 33% waktunya untuk mencari informasi. Oleh sebab itu, untuk meminimkan terbuangnya waktu (pemborosan waktu kerja) untuk mencari pengetahuan dalam mendukung pekerjaannya, diperlukan dukungan sistem kerja yang pasti sebagai kerangka kerja KM untuk menangkap, menyebarkan, menyimpan, mengambil, dan menggunakan pengetahuan dalam organisasi. Artinya, organisasi kini sulit bertahan tanpa menggunakan KM, sebagai suatu model manajemen yang dirancang dan disusun berdasarkan visi, misi, dan rencana implementasi KM organisasi.
Penulis: Jann Hidajat Tjakraatmadja, Didin Kristinawati
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Tjakraatmadja, Jann. H. & Kristinawati, D. (2017). Strategi Implementasi Knowledge Management. Bandung: Penerbit ITB
Mengapa Perlu Knowledge Management (1)
Para peramal masa depan (futurist) mengatakan bahwa abad ke-21 disebut sebagai abad pengetahuan, karena pengetahuan telah menjadi landasan segala aspek kehidupan (Trilling & Hood, 1999). Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat, tetapi diawali oleh pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan juga akibat dari transformasi nilai-nilai budaya. Era pengetahuan telah memaksa kita untuk mengubah sejumlah aturan main, cara kerja, perilaku dan bahkan telah menjungkirbalikkan paradigma yang dianggap benar pada zaman sebelumnya. Hal yang paling sesat akan terjadi apabila saat kini kita masih menggunakan cara berpikir dan cara pandang lama di era yang sudah berubah.
Begitu pula, rontoknya puncak piramida ekonomi Indonesia pada tahun 1998 – 1999, menunjukkan gambaran jelas tentang ketidakmampuan para pelaku ekonomi atau pelaku bisnis nasional dalam menyesuaikan perilakunya dengan tuntutan perubahan zaman. Kecenderungan perubahan tidak menyisakan alternatif lain selain harus berubah – siapa tidak mau dan/atau tidak mampu berubah, dipersilakan untuk meninggalkan arena kehidupan (bagi perusahaan bisnis, berarti harus siap untuk bangkrut, dan jika terjadi pada institusi pemerintah, berarti harus siap menghadapi mosi tidak percaya dari masyarakat).
Tuntutan perubahan ini berlaku bagi setiap tingkat kehidupan, baik pada tingkat individu, organisasi maupun negara. Suatu negara yang hanya mengandalkan sumber daya alam sebagai ”mesin” pertumbuhan ekonominya, seiring dengan waktu pada akhirnya akan tertinggal dibandingkan dengan negara-negara yang menjalankan kebijakan ekonomi berbasis pengetahuan. Oleh Karena itu, aplikasi KM di setiap sektor kehidupan, baik di tingkat individual (KM sebagai ”mesin” Personal, Personal KM); tingkat organisasi (KM sebagai ”mesin” organisasi – Knowledge-Driven Organization); maupun tingkat negara (KM sebagai ”mesin” ekonomi – Knowledge-based Economy) menjadi sebuah keharusan.
Berikut akan dibahas tentang KM sebagai ”Mesin” Personal; KM sebagai ”Mesin” Organisasi, dan KM sebagai ”Mesin” Ekonomi.
1. KM Sebagai ”Mesin” Personal
Insan berbeda dengan makhluk lainnya karena mereka memiliki akal dan rasa. Insan memiliki kemampuan untuk berpikir dan bekerja yang dikendalikan oleh akal dan perasaannya. Kualitas akal dan perasaan insan bergantung pada kualitas pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Semakin banyak dan semakin tinggi kualitas pengetahuan dan pengalaman insan, akan semakin tinggi pula kapasitas akal dan rasanya sehingga semakin tinggi pula derajat ataupun tingkat peradabannya. Dengan daya pikir dan daya rasanya, insan memiliki kemampuan untuk menemukan, menyimpan, serta menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Insan menggunakan pengetahuan dan pengalamannya, baik untuk keperluan diri sendiri, maupun keperluan organisasi tempat dia bekerja atau untuk keperluan negara tempat dia mengabdi.
Pengetahuan memiliki sifat tidak berwujud (intangibel) tidak bisa dilihat dan tidak bisa dikalkulasi, tetapi sangat bisa dirasakan ”daya-mampunya”. Oleh karena itu, insan sering disebut memiliki inherent power – kekuatan yang tidak tampak, yang lebih besar dibandingkan dengan kemampuan fisiknya. Terkait dengan pengetahuan dan pengalaman insan, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
A. Pengetahuan Tumbuh Sangat Pesat
Pada tahun 1993, saya pernah membaca sebuah jurnal yang menjelaskan hasil studinya tentang pertumbuhan jumlah pengetahuan di dunia. Jurnal tersebut menyebutkan bahwa jumlah pengetahuan di dunia bertambah dua kali lipat setiap 32 tahun. Pada tahun 2009, IDC Digital Universal White Paper menuliskan bahwa di era digital informasi ini, pertumbuhan pengetahuan di dunia bisa mencapai lima kali lipat dalam tempo empat tahun (Gambar 1).
Dapat dibayangkan jika seorang insan tidak belajar untuk memperbarui atau menambah pengetahuannya hanya dalam satu tahun, maka (secara rata-rata) pengetahuannya sudah kedaluwarsa sebanyak 5/4 bagiannya, atau semuanya sudah tidak relevan lagi dengan dunia kerja.
Gambar 1. Pertumbuhan Pengetahuan di Era Digital Informasi
Sumber: IDC Digital Universe White Paper, Sponsered by EMC, May, 2009
Era digital informasi memudahkan Modal Insani untuk mencari informasi/ pengetahuan. Kemudahan ini justru menimbulkan masalah baru. Derasnya aliran informasi ibarat seorang insan akan meminum dari air hidran (sumber air untuk pemadam kebakaran) karena debit dan tekanan airnya sangat tinggi, menyebabkan insan yang minum air tersebut akan ’gelagapan’, bahkan pasti tidak akan mampu meminumnya. Hal ini analog dengan insan yang bingung menentukan informasi/pengetahuan mana yang bermanfaat untuk dirinya, mana yang hoax, dan mana yang benar – lihat Gambar 2.
Gambar 2. Informasi Berlimpah dan Membuat Insan “Gelagapan”
Sumber: http://quotesjunk.com/fabulous-internet-quote-getting-information-off-the-internet-is-like-taking-a-drink-from-a-fire-hydrant/
B. Sifat Insan yang Pelupa
Otak insan memiliki kapasitas 100 miliar neuron dan setiap neuron otak memiliki kemampuan untuk terhubungkan dengan 200.000 neuron lainnya, membentuk +900 miliar simpul-simpul jaringan otak sehingga kapasitas otak insan sebenarnya (diduga) setara dengan +1.000.000 Gigabites (Buzan, Dottino, & Israel, 2007:145). Akan tetapi dalam kenyataan atau umumnya, insan malas belajar sehingga neuron tidak berisi informasi kosong. Neuron yang kosong akan mati (tidak tumbuh), yang akibatnya jaringan otak insan kebanyakannya tidak tumbuh dengan maksimal, maka kapasitas otaknya akan jauh lebih rendah dari potensi kapasitas maksimum yang dimilikinya.
Ketidaksempurnaan perkembangan jaringan otak insan ditambah dengan malasnya insan berpikir (menggunakan pengetahuan dan pengalamannya) menyebabkan pengetahuan dan pengalaman yang sudah tersimpan dalam neuronnya menjadi sulit diingat (recall) dan pada akhirnya terlupakan (’hilang’ dari memori ingatannya). Untuk menguji bahwa insan itu pelupa, silakan ingat-ingat kembali berapa banyak pengetahuan yang saudara simpan saat dahulu di SMA dan apakah sekarang masih diingat?
Karena dua hal paradoks di atas terjadi, bahwa pengetahuan berlimpah tetapi insan adalah makhluk pelupa, maka untuk mengelola pengetahuan personal agar tetap terpelihara dan terbarukan, dibutuhkan sistem dan teknologi, yang disebut Personal KM. Secara definisi, kami sajikan pengertian Personal KM (PKM) dari Wikipedia:
”PKM is a collection of processes that a person uses to gather, classify, store, search, retrieve, and share knowledge in his or her daily activities (Grundspenkis 2007), and the way in which these processes support work activities (Wright 2005). It is a response to the idea that knowledge workers increasingly need to be responsible for their own growth and learning”.
Setelah pentingnya mengelola pengetahuan di tingkat personal, maka selanjutnya peran Knowledge Management (KM) di tingkat organisasi. Berlanjut ke MENGAPA PERLU KNOWLEDGE MANAGEMENT (2)
Penulis: Jann Hidajat Tjakraatmadja, Didin Kristinawati
Jika menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tulisan ini, cantumkan sumber referensinya dengan cara:
Tjakraatmadja, Jann. H. & Kristinawati, D. (2017). Strategi Implementasi Knowledge Management. Bandung: Penerbit ITB